Antara China dan Cikeusik: Hilangnya Naluri Terindah Manusia Oleh: Bimo Tejo. kompasiana

Antara China dan Cikeusik: Hilangnya Naluri Terindah Manusia
Oleh: Bimo Tejo. kompasiana

Sukar dipercaya bahwa tradisi, digabungkan dengan kebijakan pemerintah, sanggup memaksa manusia untuk menghapus naluri yang paling indah dan mendasar…naluri sebagai ayah dan ibu.
(Xinran, Message from an Unknown Chinese Mother: Stories of Loss and Love, 2010)

Ungkapan di atas ditulis oleh Xinran dalam buku terbarunya yang dirilis tahun lalu. Sebuah buku yang mengharu-biru dan dijamin sanggup menguras air mata pembacanya, bercerita tentang tragedi pembunuhan anak perempuan di China atas nama tradisi turun-temurun dan peraturan pemerintah One Child Policy (Kebijakan Satu Anak).

Buku tersebut merupakan dokumentasi kisah nyata jeritan hati sepuluh orang ibu yang berhasil diwawancarai oleh Xinran. Dalam tradisi China terutama bagi yang tinggal di pedalaman, anak perempuan dipandang sebagai aib dalam keluarga. Akar masalahnya adalah tradisi kehidupan agraris yang menuntut kehadiran kaum lelaki sebanyak-banyaknya sebagai roda penggerak perekonomian keluarga. Juga, hanya kaum lelaki yang berhak mewarisi tanah pertanian sehingga kehadiran anak perempuan akan menyebabkan kehilangan harta keluarga yang paling berharga.

Dengan mata kepalanya sendiri, Xinran, seorang jurnalis radio yang berpangkalan di Beijing dan kini menetap di London, melihat proses kelahiran yang amat dramatis di sebuah pedesaan di pedalaman China (hal. 15-32). Dalam gelap tanpa penerangan lampu listrik, sang bidan hanya berbekal lampu minyak untuk membantu proses kelahiran. Ketika bayi keluar dari rahim ibunya, yang pertama dilakukan bukan membersihkan jalan pernapasan si bayi. Tapi memeriksa kelaminnya dengan sorotan lampu minyak.

Jika bayi itu perempuan, langsung dilempar ke dalam tong sampah!

Xinran baru mengerti mengapa para wanita China yang berasal dari pedalaman, yang lolos dari praktik gendercide itu, biasanya memiliki tanda lahir bekas luka di sekitar alat kelamin. Tak lain dan tak bukan akibat tetesan minyak lampu.

Bagaimana perasaan sang ibu melihat janin yang dikandungnya dengan susah payah selama 9 bulan, dielus dengan kasih sayang dan diajak bicara selagi masih di dalam kandungan, dilempar begitu saja ke dalam tong sampah? Xinran menulis dengan apik di dalam bukunya. Sepuluh wanita, sepuluh cerita berbeda, namun satu perasaan. Beberapa di antaranya bahkan mencoba bunuh diri akibat tidak tahan menanggung beban perasaan. Maka tak heran angka bunuh diri di China terhitung tinggi dan didominasi oleh perempuan.

Ada juga cerita sepasang orangtua yang bersama dengan Xinran dalam satu perjalanan kereta api (hal. 81-95). Sang ayah terlihat memeluk anak perempuannya yang berumur 18 bulan dengan penuh kasih sayang. Anak kecil bermata bulat yang lucu. Kereta berhenti di stasiun Xi’an. Sang ayah turun membawa anaknya. Tak lama kemudian kereta kembali bergerak. Xinran melihat sang ayah hanya sendiri tanpa ditemani si anak. Kemana si anak, tanya Xinran. Jawaban sang ayah mengagetkan lebih dari suara seribu guruh. Si anak ditinggalkan di stasiun Xi’an!

Kenapa? Kenapa tega berbuat seperti itu? Xinran bertanya seperti kesetanan. Dan sang ayah hanya menjawab dingin: “Karena Kebijakan Satu Anak.”

Ada hati yang remuk. Ada naluri keibuan yang tercabik. Lantas, apakah praktik kejam itu berhenti? Tidak juga. Laporan majalah The Economist tahun lalu mengungkap sebanyak 100 juta bayi perempuan telah dibunuh bukan hanya di China, bahkan di lima benua di seluruh dunia atas berbagai alasan. Itu angka di tahun 1990 menurut ekonom peraih Hadiah Nobel Amartya Sen. Kini, diperkirakan angka itu telah berlipat ganda.

Mengapa pembunuhan bayi perempuan terus terjadi? Mengapa ayah dan ibu sanggup mengubur naluri paling indah sebagai manusia, naluri cinta orangtua terhadap anaknya? Jawabannya tertulis di kalimat yang saya kutip dari buku Xinran di awal artikel ini. Manusia sanggup menukar dirinya menjadi makhluk bukan manusia atas nama tradisi dan kebijakan politik pemerintah!
* * *

Bukan hanya di China kita melihat manusia kehilangan nalurinya yang paling mendasar. Di Jerman kita melihat doktrin kemurnian ras Aria telah mengubah pengikut Nazi menjadi makhluk haus darah. Di Rwanda kita melihat dua suku berbeda, Hutu dan Tutsi, yang kemarin masih tinggal bersebelahan dan saling menyapa, tiba-tiba besoknya saling membunuh akibat propaganda media.

Di Cikeusik kita melihat rupa manusia yang kehilangan naluri mendasarnya sebagai manusia. Sukar dibayangkan hanya gara-gara perbedaan pandangan agama, sekelompok manusia bisa kehilangan identitasnya sebagai manusia. Melihat video pembantaian yang tersebar kemana-mana, sungguh mengusik naluri kemanusiaan orang yang masih mengaku sebagai manusia. Sungguh sulit diterima dengan akal sehat bahwa perbuatan itu dilakukan oleh manusia, dan dengan entengnya para penonton berebutan mengabadikan dengan kamera handphone.

Seorang bijak (beberapa versi menyebut Albert Einstein) pernah bertamsil seperti berikut: gelap itu tidak ada. Gelap itu adalah keadaan ketika cahaya tidak hadir. Demikian juga setan, dia itu tidak ada. Setan itu adalah keadaan ketika Tuhan tidak hadir di hati kita.

Ketika Tuhan yang sejati hadir di hati manusia, saya yakin pembunuhan anak perempuan di China tidak akan terjadi. Saya yakin Nazi Jerman tidak akan pernah muncul. Saya yakin 800 ribu orang tidak akan kehilangan nyawanya di Rwanda. Saya yakin peristiwa pembantaian di Cikeusik tidak akan terjadi.

Tetapi sayangnya, “tuhan” yang hadir di hati kita bukan lagi Tuhan yang sejati. “Tuhan” yang hadir di hati kita ada yang memakai atribut pemuka agama, ada pula yang memakai baju perlente dan duduk di jabatan elit. Mereka bukan Tuhan, tetapi kita menuhankan mereka. Karena mereka mengobral janji surga akhirat. Karena mereka mengobral janji surga dunia.

PEMBURU UTANG, PENJAGA PARKIR (dari Majalah TEMPO)

Pemburu Utang, Penjaga Parkir

BERDIRI menelepon di pintu pagar markasnya, rumah tipe 36 di Kaveling DKI Pondok Kelapa, Jakarta Timur, Umar Ohoitenan Kei, 33 tahun, tampak gelisah. Pembicaraan terkesan keras. Menutup telepon, ia lalu menghardik, “Hei! Kenapa anak-anak belum berangkat?”

Hampir setengah jam kemudian, pada sekitar pukul 09.00, pertengahan Oktober lalu itu, satu per satu pemuda berbadan gelap datang. Tempat itu mulai meriah. Rumah yang disebut mes tersebut dipimpin Hasan Basri, lelaki berkulit legam berkepala plontos. Usianya 40, beratnya sekitar 90 kilogram.

Teh beraroma kayu manis langsung direbus-bukan diseduh-dan kopi rasa jahe segera disajikan. Hasan mengawali hari dengan membaca dokumen perincian utang yang harus mereka tagih hari itu. Entah apa sebabnya, tiba-tiba Hasan membentak pemuda pembawa dokumen. Yang dibentak tak menjawab, malah melengos dan masuk ke ruang dalam. Continue reading

GENG PREMAN VAN JAKARTA (dari majalah TEMPO)

TANGANNYA menahan tusukan golok di perut. Ibu jarinya nyaris putus. Lima bacokan telah melukai kepalanya. Darah bercucuran di sekujur tubuh. “Saya lari ke atas,” kata Logo Vallenberg, pria 38 tahun asal Timor, mengenang pertikaian melawan geng preman atau geng reman lawannya, di sekitar Bumi Serpong Damai, Banten, April lalu. “Anak buah saya berkumpul di lantai tiga.”

Pagi itu, Logo dan delapan anak buahnya menjaga kantor Koperasi Bosar Jaya, Ruko Golden Boulevard, BSD City, Banten. Mereka disewa pemilik koperasi, Burhanuddin Harahap. Mendapat warisan dari ayahnya, Baharudin Harahap, ia menguasai puluhan koperasi di berbagai kota, seperti Bandung, Semarang, Parung, Ciputat, dan Pamulang.

Wafat pada akhir 2008, Baharudin meninggalkan banyak warisan buat keluarganya, antara lain aset delapan koperasi berbadan hukum, yang cabangnya tersebar di sejumlah kota. Pengadilan Agama Jakarta Timur pun menetapkan istri dan empat anak Baharudin sebagai ahli waris. Konflik keluarga berawal ketika Masthahari, adik Baharudin, menuntut hak waris. Continue reading

KONVERSI TANAH GIRIK

Tanah girik adalah istilah populer dari tanah adat atau tanah-tanah lain yang belum di konversi menjadi salah satu tanah hak tertentu (Hak milik, hak guna bangunan, hak pakai, hak guna usaha) dan belum didaftarkan atau di sertifikat kan pada Kantor Pertanahan setempat. Sebutannya bisa bermacam2, antara lain: girik, petok D, rincik, ketitir, dll

Peralihan hak atas tanah girik tersebut biasanya dilakukan dari tangan ke tangan, dimana semula bisa berbentuk tanah yang sangat luas, dan kemudian di bagi2 atau dipecah2 menjadi beberapa bidang tanah yang lebih kecil. Peralihan hak atas tanah girik tersebut biasanya dilakukan di hadapan Lurah atau kepala desa. Namun demikian, banyak juga yang hanya dilakukan berdasarkan kepercayaan dari para pihak saja, sehingga tidak ada surat-surat apapun yang dapat digunakan untuk menelusui kepemilikannya. Continue reading

Penjara di Indonesia Surga bagi pengedar Narkoba dan Bisnis Esek-esek

Penjara di Indonesia Surga Bagi Pengedar Narkoba dan Bisnis Esek-esek

Dua perempuan muda terlihat asyik ngobrol di kafetaria Rumah Tahanan (Rutan) Salemba. Penampilan keduanya terlihat seksi. Kehadiran dara cantik itu, tentunya saja jadi pemandangan tersendiri bagi para pembesuk dan narapidana di Rutan tersebut. “Itu Jablay Mas,” bisik salah seorang sipir yang kebetulan sedang istirahat di kafetaria itu. Sipir itu melanjutkan, kafetaria di Rutan Salemba memang sudah menjadi “pangkalan” bagi para Jablay, sebutan untuk perempuan pekerja seks komersial (PSK). Mereka datang khusus untuk melayani para napi di Rutan Salemba. Kafetaria itu letaknya persis di samping pintu masuk Rutan. Tempat itu menjadi ruang tunggu bagi pembesuk yang ingin menjenguk napi. Untuk masuk ke kafetaria, pembesuk diwajibkan melapor ke pos penjaga di pintu utama, dengan menaruh tanda pengenal. Continue reading

Malam Minggu Bersama Habib

Malam Minggu Bersama Habib

Rohim, 19 tahun, dengan kopiah putih serta baju dan celana koko putih, mau menghabiskan malamnya bersama habib. Ia memang selalu ingin bersama habib, yang diyakini sebagai keturunan Rasulullah melalui putrinya, Fatimah az-Zahra, dan menantunya, Ali bin Abi Thalib. Di rumah, gambar sang habib yang berkacamata minus, berjubah, dan bersorban putih menghiasi pintu kamarnya. Di jalan, gambar habib yang sama menemani nya, melekat pada tangki bensin sepeda motornya.

Senin malam terakhir sebelum Lebaran, dalam konvoi sepeda motor yang panjang, Rohim melesat cepat. Jaket hitam yang dikenakannya dengan sulaman benang emas Majelis Rasulullah pada punggungnya menyala di gelap malam. Duduk di belakangnya, Yakub, seorang anak tetangga sesama penduduk Jagakarsa yang masih seusia dengannya, memegang bendera hijau bertuliskan Majelis Rasulullah dalam aksara Arab.
Continue reading

TATA CARA JUAL BELI TANAH DAN BALIK NAMA SERTIPIKAT

TATA CARA JUAL BELI TANAH DAN BALIK NAMA SERTIPIKAT

“ Saya mempunyai tanah yang sudah bersertipikat, karena ingin menambah modal mengembangkan usaha. Saya berniat menjual tanah tersebut dan saya sudah mendapatkan seseorang yang akan membeli tanah saya. Apa yang harus saya dan calon pembeli lakukan ¿”

Apabila sudah terdapat kesepakatan mengenai harga tanah antara penjual dan calon pembeli, selanjutnya penjual dan calon pembeli datang ke kantor Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang wilayah kerjanya meliputi letak tanah yang akan dijual untuk membuat akta jual beli tanah.

“Siapakah Pejabat Pembuat Akta Tanah itu ¿ “

Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah pejabat umum yang diangkat oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tertentu, yaitu Akta Jual Beli, Tukar Menukar, Hibah, Pemasukan ke Dalam Perusahaan, Pembagian Hak Bersama, Pemberian Hak Tanggungan, Pemberian Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Milik dan pemberian Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik. Continue reading

Cerita Perjalanan/Jalan-Jalan Anggota DPR ke Maroko

Hari Jumat, 24 September 2010, Keberangkatan ke Dubai, berangkat dari Jakarta menuju Dubai jam 18.30 WIB. Tiba di dubai jam 22.30 (waktu setempat), waktu Jakarta jam 02.30 (WIB). Kami harus menunggu sampai jam 07.35 (waktu Dubai atau 11.35 wib waktu Indonesia) untuk berangkat dari Dubai menuju Casablanca, Morocco.

Sabtu, 25 September 2010, Akhirnya pada pukul 00.51 pagi waktu Dubai saya menerima uang sisa tiket hanya US$ 122 saja. Uang perdis US$ 220 x 4 hari dipegang ketua delegasi untuk biaya makan dan hotel di Maroko. Padahal biaya paket selama di Maroko dan Spanyol (saya harus ikut bayar walau tidak ikut,karena hitungannya satu kelompok/group, saya dikenakan US$ 1,350), perincian potongan terlampir.

Tiba di Dubai jam 22.30 , berangkat lagi ke Maroko dari Dubai jam 7.35 (waktu Dubai), seharusnya Maskapai Emirates kasih penginapan gratis buat yang transitnya lama, kemana jatah ini ? Padi tour ada apa bisa monopoli perjalanan DPR ?
Continue reading