Monthly Archives: February 2011

Antara China dan Cikeusik: Hilangnya Naluri Terindah Manusia Oleh: Bimo Tejo. kompasiana

Antara China dan Cikeusik: Hilangnya Naluri Terindah Manusia
Oleh: Bimo Tejo. kompasiana

Sukar dipercaya bahwa tradisi, digabungkan dengan kebijakan pemerintah, sanggup memaksa manusia untuk menghapus naluri yang paling indah dan mendasar…naluri sebagai ayah dan ibu.
(Xinran, Message from an Unknown Chinese Mother: Stories of Loss and Love, 2010)

Ungkapan di atas ditulis oleh Xinran dalam buku terbarunya yang dirilis tahun lalu. Sebuah buku yang mengharu-biru dan dijamin sanggup menguras air mata pembacanya, bercerita tentang tragedi pembunuhan anak perempuan di China atas nama tradisi turun-temurun dan peraturan pemerintah One Child Policy (Kebijakan Satu Anak).

Buku tersebut merupakan dokumentasi kisah nyata jeritan hati sepuluh orang ibu yang berhasil diwawancarai oleh Xinran. Dalam tradisi China terutama bagi yang tinggal di pedalaman, anak perempuan dipandang sebagai aib dalam keluarga. Akar masalahnya adalah tradisi kehidupan agraris yang menuntut kehadiran kaum lelaki sebanyak-banyaknya sebagai roda penggerak perekonomian keluarga. Juga, hanya kaum lelaki yang berhak mewarisi tanah pertanian sehingga kehadiran anak perempuan akan menyebabkan kehilangan harta keluarga yang paling berharga.

Dengan mata kepalanya sendiri, Xinran, seorang jurnalis radio yang berpangkalan di Beijing dan kini menetap di London, melihat proses kelahiran yang amat dramatis di sebuah pedesaan di pedalaman China (hal. 15-32). Dalam gelap tanpa penerangan lampu listrik, sang bidan hanya berbekal lampu minyak untuk membantu proses kelahiran. Ketika bayi keluar dari rahim ibunya, yang pertama dilakukan bukan membersihkan jalan pernapasan si bayi. Tapi memeriksa kelaminnya dengan sorotan lampu minyak.

Jika bayi itu perempuan, langsung dilempar ke dalam tong sampah!

Xinran baru mengerti mengapa para wanita China yang berasal dari pedalaman, yang lolos dari praktik gendercide itu, biasanya memiliki tanda lahir bekas luka di sekitar alat kelamin. Tak lain dan tak bukan akibat tetesan minyak lampu.

Bagaimana perasaan sang ibu melihat janin yang dikandungnya dengan susah payah selama 9 bulan, dielus dengan kasih sayang dan diajak bicara selagi masih di dalam kandungan, dilempar begitu saja ke dalam tong sampah? Xinran menulis dengan apik di dalam bukunya. Sepuluh wanita, sepuluh cerita berbeda, namun satu perasaan. Beberapa di antaranya bahkan mencoba bunuh diri akibat tidak tahan menanggung beban perasaan. Maka tak heran angka bunuh diri di China terhitung tinggi dan didominasi oleh perempuan.

Ada juga cerita sepasang orangtua yang bersama dengan Xinran dalam satu perjalanan kereta api (hal. 81-95). Sang ayah terlihat memeluk anak perempuannya yang berumur 18 bulan dengan penuh kasih sayang. Anak kecil bermata bulat yang lucu. Kereta berhenti di stasiun Xi’an. Sang ayah turun membawa anaknya. Tak lama kemudian kereta kembali bergerak. Xinran melihat sang ayah hanya sendiri tanpa ditemani si anak. Kemana si anak, tanya Xinran. Jawaban sang ayah mengagetkan lebih dari suara seribu guruh. Si anak ditinggalkan di stasiun Xi’an!

Kenapa? Kenapa tega berbuat seperti itu? Xinran bertanya seperti kesetanan. Dan sang ayah hanya menjawab dingin: “Karena Kebijakan Satu Anak.”

Ada hati yang remuk. Ada naluri keibuan yang tercabik. Lantas, apakah praktik kejam itu berhenti? Tidak juga. Laporan majalah The Economist tahun lalu mengungkap sebanyak 100 juta bayi perempuan telah dibunuh bukan hanya di China, bahkan di lima benua di seluruh dunia atas berbagai alasan. Itu angka di tahun 1990 menurut ekonom peraih Hadiah Nobel Amartya Sen. Kini, diperkirakan angka itu telah berlipat ganda.

Mengapa pembunuhan bayi perempuan terus terjadi? Mengapa ayah dan ibu sanggup mengubur naluri paling indah sebagai manusia, naluri cinta orangtua terhadap anaknya? Jawabannya tertulis di kalimat yang saya kutip dari buku Xinran di awal artikel ini. Manusia sanggup menukar dirinya menjadi makhluk bukan manusia atas nama tradisi dan kebijakan politik pemerintah!
* * *

Bukan hanya di China kita melihat manusia kehilangan nalurinya yang paling mendasar. Di Jerman kita melihat doktrin kemurnian ras Aria telah mengubah pengikut Nazi menjadi makhluk haus darah. Di Rwanda kita melihat dua suku berbeda, Hutu dan Tutsi, yang kemarin masih tinggal bersebelahan dan saling menyapa, tiba-tiba besoknya saling membunuh akibat propaganda media.

Di Cikeusik kita melihat rupa manusia yang kehilangan naluri mendasarnya sebagai manusia. Sukar dibayangkan hanya gara-gara perbedaan pandangan agama, sekelompok manusia bisa kehilangan identitasnya sebagai manusia. Melihat video pembantaian yang tersebar kemana-mana, sungguh mengusik naluri kemanusiaan orang yang masih mengaku sebagai manusia. Sungguh sulit diterima dengan akal sehat bahwa perbuatan itu dilakukan oleh manusia, dan dengan entengnya para penonton berebutan mengabadikan dengan kamera handphone.

Seorang bijak (beberapa versi menyebut Albert Einstein) pernah bertamsil seperti berikut: gelap itu tidak ada. Gelap itu adalah keadaan ketika cahaya tidak hadir. Demikian juga setan, dia itu tidak ada. Setan itu adalah keadaan ketika Tuhan tidak hadir di hati kita.

Ketika Tuhan yang sejati hadir di hati manusia, saya yakin pembunuhan anak perempuan di China tidak akan terjadi. Saya yakin Nazi Jerman tidak akan pernah muncul. Saya yakin 800 ribu orang tidak akan kehilangan nyawanya di Rwanda. Saya yakin peristiwa pembantaian di Cikeusik tidak akan terjadi.

Tetapi sayangnya, “tuhan” yang hadir di hati kita bukan lagi Tuhan yang sejati. “Tuhan” yang hadir di hati kita ada yang memakai atribut pemuka agama, ada pula yang memakai baju perlente dan duduk di jabatan elit. Mereka bukan Tuhan, tetapi kita menuhankan mereka. Karena mereka mengobral janji surga akhirat. Karena mereka mengobral janji surga dunia.